Minggu, 02 Oktober 2011

NILAI DAN SiFAT KONSTITUSI

1. NILAI KONSTITUSI
Nilai konstitusi yang dimaksud di sini adalah nilai (values) sebagai hasil penilian atas pelaksanaan norma – norma dalam suatu konstitusi dalam kenyataan praktik. Sehubungan dengan hal itu, Karl Loewenstein dalam bukunya “Reflection on the of Constitutions” membedakan 3 macam nilai atau values of the constitution, yaitu (i) normative values; (ii) nominal value; dan (iii) semantical value. Jika berbicara mengenai nilai konstitusi, para sarjana Hukum selalu mengutip pendapat Karl Loewenstein mengenai tiga nilai normative, nominal, dan semantic ini.

2. KONSTITUSI FORMIL DAN MATERIIL
Konstitusi, constitution (Amerika Serikat), atau verfasung (Jerman), di bedakan dari undang – undang dasar atau grundgestz (Jerman) ataupun grondwet (Belanda). Di karenakan kesalahpahaman dalam cara pandangan banyak orang tentang konstitusi, maka pengertian mkonstitusi itu sering diidentikkan dengan pengertian undang – undang dasar. Kesalahan ini di sebabkan antara lain oeh pengaruh paham kodifikasi yang menghendaki semua peraturan Hukum dibuat dalam bentuk tertulis (written document) dengan maksud untuk mencapai kesatuan Hukum (rechtzekerheid). Begitu besar pengaruh kodifikasi ini, maka di seluruh dunia berkembang anggapan bahwa setiap peraturan, di karenakan pentingnnya maka harus di tulis, dan demikian pula dengan konstitusi. Di zaman modern sekarang ini, dapat di katakana bangsa Amerika Serikatlah yang pertama menuliskan konstitusi dalam satu naskah, meskipun leluhur mereka di Inggris tidak mengenal naskah konstitusi yang tertulis dalam satu naskah.
Oleh karena itu, dalam bahasa Inggris dan Amerika, tidak tersedia kata yang tepat untuk menggambarkan perbedaan antara konstitusi dan undang – undang dasar sebagaimana perbedaan antara kedua pengertian ini dalam bahasa Jerman., Perancis, Belanda dan Negara – Negara Eropa Kontinental lainnya. Dalam bahasa Jerman jelas di bedakan antara verfasung dan constitutie dan grondwet.
Untuk memahami perbedaan mengenai kedua pengertian konstitusi dan undang – undang dasar itu, kita dapat menggunakan antara lain pendangan Hermann Heller sebagai rujukan. Dari pandangan Hermann Heller ini jelas tergambar bahwa konstitusi itu memang mempunyai arti yang lebih luas dari pada undang – undang dasar. Hermann Heller membagi konstitusi itu dalam tiga fase pengertian, yaitu :
a) Pada mulanya, apa yang di pahami sebagai konstitusi itu mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan (Die politieche verfasung als gesellchaftliche wirklihkeit) dan ia belum merupakan konstitusi dalam arti Hukum (Ein rechtverfasung). Dengan perkataan lain, konstitusi itu masih merupakan pengertian sosiologis atau politis dan belum merupakan pengertian Hukum.
b) Setelah orang mencari unsure – unsure Hukumnya dari konstitusi yang hidup di dalam masyarakat itu untuk di jadikan satu kesatuan kaidah Hukum, barulah konstitusi itu di sebut rechtverfasung (die verselbstandigte rechtverfasung), yaitu konstitusi dalam arti Hukum.
c) Kemudian muncul pula kebutuhan untuk menuliskan konstitusi itu dalam satu naskah tertentu sehingga orang milai menulisnya sebagai undang – undang yang tertinggi yang berlaku dalam satu Negara.

3. LUWES (FLEKXIBLE) ATAU KAKU (RIGID)
Naskah konstitusi atau undang – undang dasar dapat bersifat Luwes (flexible) atau Kaku (rigid. Ukuran yang biasanya di pakai oleh para ahli untuk menentukan apakah suatu undang – undang dasar itu bersifat luwes atau kaku adalah (i) apakah terhadap naskah konstitusi itu di mungkinkan di lakukakan perubahan dan apakah cara mengubahnya cukup mudah atau sulit, dan (ii) apakah naskah konstitusi itu mudah atau yidak mudah mengikuti perkembangan kebutuhan zaman.
Untuk menentukan apakah suatu naskah luwes atau tidak, maka pertama – tama kita dapat mempelajari mengenai kemungkinannya berubah atau tidak, dan bagaimana pula perubahan itu di lakukan. Pada umumnya, selalu di atur tata cara perubahan konstitusi itu sendiri dalam pasal – pasal atau bab tersendiri. Perubahan- perubahan yang dilakukan sendiri oleh undang – undang dasar itu dinamakan verfasungs – anderung. Ketentuan mengenai perubahan tersebut selalu di tentukkan oleh undang – undang dasar itu sendiri. Karena walaupun di manksudkan untuk jangka waktu yang lama, teks suatu undang – undang dasar selalu cenderung untuk tertinggal dari perkembangan masyarakat.
Untuk undang – undang dasar yang tergolong flexible, perubahan kadang – kadang cukup di lakukan hanya dengan the ordinary legislative process seperti di New Zealand. Sedangkan untuk undang – undang dasar yang di kenal kaku atau rigid, prosedur perubahannya dapat dilakukan :
a) Oelh lembaga Legislatif, tetapidengan pembatasan – pembatasan tertentu;
b) Oleh rakyat secara langsung melalui suatu referendum;
c) Oleh utusan Negara – Negara bagian, khusus di Negara – Negara Serikat; atau
d) Dengan kebiasaan ketatanegaraan, atau oelh suatu lembaga Negara yang khusus yang di bentuk hanya untuk keperluan perubahan.



4. KONSTITUSI TERTULIS DAN TIDAK TERTULIS
Membedakan secara prinsipil antara konstitusi tertulis (written constitution) dan tidak tertulis (Unwritten constitution atau onsschreven constitutie) adalah tidak tepat. Sebutan konstitusi tidak tertulis hanya di pakai untuk di lawankan dengan konstitusi modern yang lazimnya ditulis dalam suatu naskah atau beberapa naskah. Timbulnya konstitusi tertulis adalah Negara Inggris, namunprinsip – prinsip yang di camtumkan dalam konstitusi di Inggris di cantumkan dalam undang – undang biasa, sepertu Bill of rights.
Dengan demikian suatu konstitusi disebut tertulis apabila ia di tulis dalam suatu naskah atau beberapa naskah, sedangkan konstitusi disebut tidak tertulis di kerenakan ketentuan – ketentuan yang mengetur suatu pemerintahan tidak tertulis dalam suatu naskah tertentu, melainkan dalam banyak hal di atur dalam konvensi – konvensi atau undang – undang biasa.

Tidak ada komentar: